Kamis, April 26

IRONI DUNIA PENDIDIKAN



Diyakini atau tidak, pendidikan merupakan senjata yang ampuh untuk memangkas kebodohan, kemiskinan, kekerasaan, penindasan, dan lain sebagainya. Karena pendidikan merupakan sebuah sistem yang dapat menopang peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dengan pendidikan seseorang mengetahui apa yang tidak diketahui, memahami apa yang tidak dipahami, dan akan mengerti apa yang tidak dimengerti.  Dengan pendidikan pula seseorang berpotensi dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak baik menjadi baik, dari yang ragu menjadi yakin, dan dari yang pasif menjadi aktif. Jadi, dengan pendidikanlah kita bisa meningkatkan kualitas kehidupan seseorang kearah yang lebih baik. Jika pendidikan seperti itu adanya, apa sebenarnya pendidikan itu?

Bagi saya, sederhananya adalah pendidkan merupakan proses ‘pencerdasan dan pendewasaan’ kepada seseorang sehingga menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk bisa cerdas dan dewasa membutuhkan proses yang cukup panjang serta dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Kecerdasan adalah memiliki ilmu pengetahuan yang mempuni dan kedewasaan mampu berbuat baik dan benar. Jadi, keceradaaan itu berkaiatan dengan ilmu dan pengetahuan dan kedewasaan berkaiatan dengan tutur sapa dan sikap baik.  

Dengan demikian, pendidikan seharusnya diletakan sebagai kebutuhan pokok bagi setiap umat manusia. Kenapa? Karena pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan dan lebih merupakan hak, seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1, yang bunyinya “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran’. Jika sudah diposisikan sebagai kebutuhan pokok/dasar dan hak, maka setiap orang dapat dan berkewajiban untuk berlomba-lomba mengunyah pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi.  Jika tidak, mereka akan ‘lapar’ dan ‘haus’ dalam menjalani hidupnya sehari-hari.

Tetapi celakanya, ketika masyarakat sudah meletakan pendidikan sebagai kebutuhan pokok/dasar dan hak dalam kehidupan, maka harga dan biaya pendidikan tersebut semakin hari semakin meningkat. Akibatnya, sebagian besar masyarakat (khusunya masyarakat miskin) tidak mendapatkan haknya, kemudian memandang pendidikan sebagai barang ‘langka’ dan ‘mahal’ sehingga membuat mereka tidak mampu untuk ‘membeli’ dan membayarnya. Kemudian tidak heran yang terjadi adalah banyak yang putus sekolah, tidak dapat melanjutkan studi keperguruan tinggi, pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk menulis artikel yang dikasih judul “Ironi Dunia Pendidikan”.

Percaya atau pun tidak, orang yang tidak berpendidikan (pengangguran) yang sejatinya miskin, tidak tahu, tidak biasa, pasif, dan lain sebagainya,  bukan karena dia tidak mau atau tak ingin sekolah, tetapi tidak punya uang untuk membiayai sekolahnya. mereka memandang dunia pendidikan sebagai ikon yang ‘menakutkan’. Apalagi akhir-akhir ini biaya sekolah khususnya perguruan tinggi semakin hari semakin naik dan mahal. Ini lah menjadi keluhan, sehingga tidak berlebihan jika penulis mengatakan “orang miskin tidak perlu sekolah” itu sudah menjadi nasibmu, tunggu saja ditindas dan dieksploitasi. Pernyataan ini kedengarannya sederhana tetapi menyakitkan bagi kebanyakan orang.

Harus diakui juga agresifitas pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan sekolah gratis. Tetapi ini berlaku hanya beberapa daerah saja, dan masih banyak daerah yang pungutan liar (pungli) dari siswa dengan alasan demi kemajuan sekolah atau dengan alasan lain. Dan jika dilihat dari kualifikasi pendidikan, jelas izasa D3 tidak berlaku lagi hari ini apalagi SMP dan SMA. Sedangkan yang digratiskan hanya SD-SMA, selanjutnya ditanggung sendiri. Dengan demikian, perlu adanya tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan sampai seseorang mendapatkan izasa yang dapat ‘diandalkan’. Bukan sampai SMA saja. Dan kalau pun ada yang disekolahkan oleh pemerintah bukan orang miskin melainkan orang kaya, anak-anak pejabat, dan keluarga terdekat penguasa. Masih banyak lagi persoalan lain yang terus melilit dunia pendidikan dinegri ini, misalnya; profesionalisme guru, sarana dan prasarana, media pembelajaran, dan lain-lain.

Berangkat dari beberapa persoalan di atas itulah kemudian yang saya sebut sebagai “ironi dunia pendidikan”. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerentah daerah terkesan setengah-setengah, diskriminatif, dan mengabaikan amanat konstitusi serta tidak adanya kesungguhan dan keseriusan dari semua unsur yang prihatin terhadap pendidikan khususnya pemerintah, untuk benar-benar mengejewantahkan nilai-nilai pendidikan, sehingga tertanam dalam diri seseorang. Jika penyelenggaraan pendidikan di negeri ini akan terus-menerus seperti ini jangan berharap ‘mencerdaskan dan mendewasakan anak bangsa dapat terwujud dengan baik.

Selasa, April 24

"DISIPLIN KARET"



Hari ini disiplin
Saat ini tidak diplin  
Jam ini disiplin 
Sejam kemudian tidak disiplin 


Besok disiplin 
Besoknya tidak disiplin  
Besoknya lagi disiplin 
Besoknya lagi tidak displin 


Minggu ini disiplin 
Minggu besok tidak disiplin 
Minggu besoknya disiplin 
Minggu besoknya lagi tidak disiplin 


Bulan ini disiplin 
Bulan depan tidak disiplin
Bulan depannya disiplin 
Bulan depannya lagi tidak disiplin 


Tahun ini disiplin 
Tahun depan tidak disiplin 
Tahun depannya disiplin 
Tahun depannya lagi tidak disiplin 


Ternyata ... 
Disiplin mainanan 
Yang ... 
Dipermainkan 

Senin, April 23

ANTARA KEBIJAKAN DAN PROYEK



Tulisan ini muncul atas dasar penilaian yang mendalam terhadap gerik-gerik penguasa dalam bidang pendidikan yang akhir-akhir ini cukup heboh dan tergesah-gesah mengelurkan kebijakan. layaknya seperti orang yang “kebakaran jenggot”.  Sadar atau tidak kita menilai penguasa sering gonta-ganti kebijakan, baik yang berkaitan dengan sistem kurikulum maupun yang berkaitan dengan perangkat pembelajaran, atau hal-hal lain yang yang menyangkut pendidikan.

Diketahui bahwa saat ini para pendidik dikagetkan oleh adanya kebijakan tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berkarakter, sedangka, sebulumnya masih melakoni RPP yang berbasis kompetensi, dan ironisnya RPP tersebut masih dalam tahap uji coba kelayakan, alias belum diketahui hasil idealnya seperti apa? Dengan tiba-tiba muncul RPP baru dengan gaya dan keakuannya lebih bagus dan lebih “hebat” karena lebih tepat dengan kondisi saat ini. Masalahnya indikator bagusnya kebijkaan tersebut apa? RPP yang lama saja bulum diketahui hasilnya. Kok muncul yang baru? Hal ini membingungkan para pendidik (guru). Ada apa dengan kebijakan tersebut? mungkin saja “ada udang di balik batu”.

Jika dipandang dari begron sejarah, sistem pendidikan nasional di era ini telah mengalami perubahan hampir lebih dari beberapa kali. Padahal jika mau jujur, perubahan tersebut tidaklah sampai menyentuh tingkat substansinya (pencapaian perbaikan hasil atau mutu), melainkan perubahan tersebut hanyalah terjadi pada perubahan nama atau kulit luarnya (nomenklaturnya) saja. Padahal perubahan tersebut mengeluarkan anggaran negara tidak sedikit. Inilah yang sebut dengan ”proyek”. Seperti yang kita ketahui bersama setiap kali kebijakan yang dikeluarkan itu memakan anggaran miliaran bahkan triliunan rupiah. Dengan adanya anggaran yang besar inilah penguasa memanfaatkannya untuk merauk keuntungan sebesar-besarnya.

Penguasa  beserta antek-anteknya bersikukuh dan berjibaku dengan sejuta konspirasi mengeluarkan kebijakan tanpa dasar yang jelas. penguasa memandang kebijakan merupakan “lahan basah” yang mudah digarap tanpa mengeluarkan tenaga dan pikiran yang begitu berarti. Kapanpun bisa digarap asalkan ada “bibit unggul” yang kualitasnya tinggi.

Pernyataan di atas, harus diyakini adanya. Sebab penulis juga pernah mendengarkan langsung dari jawaban seseorang penguasa disalah satu dinas pendidikan daerah. Beliau mengatakan “adanya pergantian kebijakan tersebut atas dasar “proyek” semata, disamping adanya pertimbangan-pertimbangan lain yang rasional”. Dengan lantangnya beliau mengatakan itu. Jawaban tersebut didengungkan ketika penulis menanyakan apa yang menjadi dasar pertimbangan sehingga kebijakan dalam dunia pendidikan terus diganti-ganti? Jadi, tidak diragukan lagi bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa atas dasar “proyek”. 

Penguasa memandang kebijakan adalah komoditas strategis untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga tidak heran yang terjadi dinegeri ini setiap ada ganti kekuasaan pasti ganti kebijakan. Jika kondisi semacam ini sedang dan selalu menyelimuti para penguasa negeri ini, khususnya pemangku kebijakan dalam dunia pendidikan. Maka, hakekat dan tujuan pendidikan sesungguhnya hanya pepesan belaka, dan mencerdasakan anak bangsa hanyalah “mimpi disiang bolong”. 

Tentu, kita tidak bisa menutup mata dengan potret pendidikan hari ini, semakin hari semakin memburuk, mutu pendidikan semakin ambruk, dan kebijakan demi kebijakan terus-menerus diganti oleh penguasa tanpa ada hasil yang pasti. Ini semua karena tidak adanya niat baik dari penguasa sebagai pemangku kebijakan dalam melaksanakan peran dan fungsi dengan baik. Jika kebijakan lahir atas dasar niat yang “busuk” jangan harap mutu pendidikan di negeri ini semakin membaik. Ironis memang, jika kita kaitkan dengan hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan yang sejatinya suci, tulus, dan murni tetapi dikotori oleh tangan-tangan jahil dan mulut-mulut munafik yang memanfaatkan kebijkan demi kepentingan pribadi dan golongan semata.

Penulis menilai, cara pandang penguasa seperti itu sangat keliru adanya, dan ini merupakan bentuk penghinatan terhadap pendidikan khususnya serta bangsa, dan Negara pada umumnya. Jadi, tindakan ini tidak boleh kita biarkan berlarut-larut, sudah seharusnya dijadikan sebagai musuh bersama. Kita sebagai warga Negara tidak boleh tinggal diam. Diam akan ditindas, melawan akan menawan, dan mati adalah jihad.

“Wallahu’alam bissawab”, apa yang merasuki nurani dan pikiran pengambil kebijakan saat ini, hanya Tuhanlah yang tahu. Kita hanya bisa berdoa semoga penguasa kembali kejalan yang benar.


Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca, paling tidak untuk memahami alur kebijakan dalam dunia pendidikan khususnya dan pada umumnya untuk menyadarkan kita bahwa “roh”pendidikan sedang dinodai oleh penguasa.

Daftar Pustaka
Juwaidin. 2006. Pendidikan yang Bobrok. Yogyakarta: Genta Press



Kamis, April 19

PEREMPUAN DAN GENDER (WANITA JUGA MANUSIA)



       Akhir-akhir ini, sering kita dengar istilah gender. Kata gender sering terngiang di telinga kita dalam aktivitas keseharian. Ini menunjukan bahwa gender bukan barang baru, bukan pula istilah baru yang muncul hari ini, melainkan sudah lama didengungkan oleh kaum perempuan. Jika melirik dari sejarahnya, konsep gender digagas oleh ibu R.A. Kartini. Beliau tercatat sebagai tokoh yang membangkitkan kesadaran kaum perempuan akan pentingnya persamaan hak  dan kewajiban serta kesetaraan kedudukan kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam bergai bidang kehidupan. Dengan demikian, R.A. Kartini lahir sebagai tokoh perempuan dengan simbol “gender” sebagai alat dan tameng perjuangan. 



Meminjam pengertian dari Eni Kusdarini dosen jurusan PKn Universita Negeri Yogyakarta, gender merupakan konstruksi atau bangunan budaya tentang peran, fungsi, kedudukan, dan tanggungjawab sosial antara kaum laki-laki dan perempuan. Pengertian di atas mengamanatkan bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan substansinya sama dan setara dalam memainkan peran, fungsi, kedudukan, dan tanggungjawab sosial dalam berbagai bidang kehidupan, misalnya; politik, hukum, sosial budaya, pendidikan, dan lain sebagainya. Yang membedakan kaum perempuan dengan kaum laki-laki hanya dalam bentuk fisik atau jenis kelamin. Jadi, kaum laki-laki harus sadar bahwa kaum perempuan adalah manusia biasa yang punya “rasa dan punya hati”, memiliki kemampuan layaknya kaum laki-laki pada umumnya. Dominasi kaum laki-laki (budaya patriarki) harus dan segera dipangkas di muka bumi ini.   



Bertolak dari pernyataan di atas, realitas di lapangan menunjukan justru perempuan sendiri yang menampakan dirinya sebagai insan lemah, tidak berdaya, manja, cemen, dan lain sebagainya. Sikap semacam itu, ditunjukan oleh sebagian besar kaum perempuan dalm kesehariannya. Rupanya, sikap tersebut sudah menjadi kebiasaan dan kultur/budaya kaum perempuan yang sudah melekat sejak dulu hingga sekarang. Hal ini menandakan bahwa penindasan itu tidak dilakukan oleh kaum laki-laki melainkan perempuan itu sendiri. Masalahnya adalah jika sikap perempuan terus seperti itu, apakah kesetaraan gender mampu diperjuangkan? Bagaiman sikap perempuan seharusnya, sehingga tujuan kesetaran gender dapat terwujud? dan apa yang harus dilakukan oleh kaum perempuan sehingga cita-citanya tercapai dengan baik? Ketiga pertanyaan tersebut kedengaranya sederhana tetapi jawabannya sangat sulit dan rumit.



Kongkritnya adalah jika kaum prempuan terus-menerus bergelut dengan sikap-sikap tersebut, jangan harap diskriminasi dan penindasan terhadap dirinya mampu dihilangkan,  dan kesetaraan gender yang menjadi simbol perjuangan hanya sekedar cloteh belaka. Seharusnya kaum perempuan mampu menghindari sikap dasar tersebut. menganggap diri lemah, tidak berdaya, sikap manja, cemen, dan lain sejenisnya benar-benar dijauhkan dari kediriannya alias tidak perlu ditunjukan lagi dalam sikap kesehariannya. Wujudkan jati diri sebagai insan yang kuat, siap bekerja, tidak mengeluh, berani mengambil keputusan, siap menghadapi resiko, pantang menyerah, dan bertanggungjawab. Ibaratkan “wanita besi” atau “wanita baja” sebagai simbol kekuatan kediriannya, dan/atau layaknya kaum laki-laki pada umumnya.



Jika sikap-sikap tersebut dimanifestasikan dalam kehidupannya sehari-hari, maka yakin dan percayalah diskriminasi dan penindasan yang dialaminya tidak berkepanjangan. Disamping itu pula, kaum perempuan harus mampu mengikat diri dalam sebuah wadah perjuangan dalam hal ini bisa dalam bentuk organisasi perempuan atau kumpulan-kumpulan perempuan yang di dalamnya ada kegiatan orientasi pemberdayaan perempuan, atau dengan kata lain “pengkaderan perempuan”. Sehingga dari generasi ke generasi terbesit jati diri mereka yang sesungguhnya, kemudian kesadaran kesetaran gender benar-benar tertanam dalam jiwa kaum perempuan. Organisasi tersebut dapat berskala lokal maupun nasional tetapi yang terpenting adalah komitmen dan konsisten dalam membangun komunikasi dalam mewujudkan tujuan organisasi dilaksanakan dengan baik. 



Kaum laki-laki dan kaum perempuan juga harus sadar bahwa mereka adalah sama-sama hamba Tuhan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan. Keduanya mempunyai potensi dan kemampuan yang sama untuk menjadi hamba ideal. Yakni hamba yang bertakwa, berekspresi, berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi. Tidak dikenal adanya perbedaan, jenis kelamin, suku bangsa, atau kelompok tertentu. Kaum laki-laki dan kaum perempuan masing-masing memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q.s. al-Nahal/16:97). Jadi, bererdasarkan ayat tersebut dimata Tuhan kaum laki-laki dan perempuan itu sama. Untuk itu, sudah sepantasnyalah kaum laki-laki dan kaum perempuan saling menghargai dan saling menghormati tidak  ada yang ditindas, dianiaya, dimaki, dimarginalkan, dikucilkan, dan lain sebagainya. Keduanya berada dalam kondisi yang menyenangkan.



Disamping itu, perempuan juga harus sadar dengan ikhtiar atau upayanya untuk bangit dalam mensejajarkan posisnya dengan kaum laki-laki melalui bingkai gender. Jangan hanya gender sebagai slogan semata, tetapi harus benar-benar diperjuangkan dalam wujud nyata dengan simbol perjuangan “tunduk tertindas bangkit untuk melawan diam berarti penghianat”, sehingga tujuan dan cita-citanya dapat terwujud dengan baik. 



Mudah-mudahan dengan adanya peringatan hari kartini atau hari kebangkitan perempuan yang dilaksanakan setiap tahun. Tepatnya, pada tahun ini dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 21 April 2012, memberikan kesadaran positif bagi kaum perempuan khususnya, dan kaum laki-laki pada umumnya akan pentinya persamaan peran, fungsi, dan kedudukan dalam berbagai bidang kehidupan tanpa pandang bulu. Semoga…



Untuk mengahiri tulisan ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan tulisan ini, karena penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan.

Ditunggu!!!









Rabu, April 18

JIHAD MELAWAN KEBODOHAN



                Al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw merupakan petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk ini diberikan agar manusia dapat menata kehidupan lahir dan batinnya menjadi lebih sempurna, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.


                 Petunjuk Al-Qur’an yang terdapat dalam sejumlah ayatnya merupakan arahan dasar ajaran agama yang harus dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Petunjuk ajaran agama yang ditunjukkan Al-Qur’an dapat member solusi bagi setiap pertanyaan atau masalah-masalah yang dialami manusia sepanjang masa. 
   

                Ajaran yang ditawarkan al-Qur’an selalu relevan dan rasional dengan semua persoalan umat yang dihadapi manusia, kapan dan dimana pun manusia berada bisa mendapatkan petunjuknya. Salah satu ajaran pokok agama islam yang ditunjukkan Allah SWT melalui Al-Qur’’an adalah ajaran tentang jihad. Ajaran Islam yang paling banyak dibahas diberbagai disiplin ilmu ini menunjukkan penekanan Allah SWT untuk melaksanakan jihad. Banyak yang mengatakan bahwa jihad itu adalah hanya dengan perang secara fisik atau hanya dengan mengangkat senjata saja, namun ada jihad yang dapat dilakukan dan tidak lebih utama dari hanya berperang saja.


                Secara harfiah, jihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dan dalam keadaan fi sabilillah yang sering dimaknai sebagai perjuangan di jalan Allah. Dalam hal ini, perjuangan bukan semata-mata perang. Sebab, jihad dalam ajaran Islam, sebagaimana disampaikan Nabi Muhammad adalah melawan hawa nafsu, khususnya nafsu syaithoniyah. Disamping itu, masih banyak jihad yang lain yang diharuskan oleh agama islam untuk di perangi salah satunya adalah jihad melawan kebodohan. 


                 Kebodohan merupakan problem masyarakat Indonesia yang sangat menjadi perhatian dunia adalah masalah Kebodohan. Masih besar persentasi kurangnya pendidikan penduduk di Indonesia, masyarakat yang masih belum mementingkan akan pentingnya Ilmu untuk kehidupan. Khususnya, di daerah terpencil yang masih jauh dari pendidikan. Yang dalam hal tersebut akan menambah dan membentuk mind set seseorang untuk tidak berpikir akan sebuah ilmu dan pendidikan. Masalah seperti ini yang harus digarisbawahi dan ditebalkan sehingga menjadi masalah yang mendapatkan perhatian lebih dan harus segera dituntaskan.


                 Bodoh adalah salah satu penyakit hati yang sangat membahayakan dan sangat mengerikan akibatnya. Akan tetapi sering dan mayoritas penderitanya tidak merasa kalau dirinya sedang terjangkit penyakit berbahaya ini. Dan karena penyakit bodoh inilah muncul penyakit-penyakit hati yang lain seperti iri, dengki, riya, sombong, ujub (membanggakan diri) dan lainnya.


 Karena kebodohan ini adalah sumber segala penyakit hati dan sumber segala kejahatan. Kebodohan ini penyakit hati yang berbahaya lebih dahsyat dibanding penyakit badan. Karena puncak dari penyakit badan berakhir dengan kematian, adapun penyakit hati akan mengantarkan penderitanya kepada kesengsaraan dan kebinasaan yang kekal.


                Manusia yang terkena penyakit ini hidupnya hina dan sengsara di dunia maupun di akherat Allah Taala banyak menyebutkan dalam Al-Quran tentang tercelanya dan hinanya serta balasan dan akibat bagi orang-orang yang bodoh yang tidak mau tahu tentang ilmu agama di dunia dan akherat. Diantaranya Allah menyatakan dalam surat Al-Furqon: 44 "Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami ?. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya". Di dalam ayat ini, Allah Taala menyerupakan orang-orang bodoh yang tidak mau tahu ilmu agama seperi binatang ternak bahkan lebih sesat dan jelek.


                Di dalam surat Al-Anfal: 22. Allah juga menyatakan: "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling jelek di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli yang tidak mau mengerti apapun (tidak mau mendengar dan memahami kebenaran)". Dalam ayat ini Allah memberitakan bahwa orang-orang bodoh yang tidak mau memahami kebenaran adalah binatang yang paling jelek diantara seluruh binatang-binatang melata seperti keledai, binatang buas, serangga, anjing dan seluruh binatang yang lain. Maka orang-orang bodoh yang tidak mau kebenaran lebih jahat dan lebih jelek dari seluruh binatang. 


                 Selaras dengan pernyataan di atas, tentu kita semua tidak ingin menjadi menusia bodoh, atau mendengarkan kata “bodoh” yang ditunjukan kepada kita, kalau itu trerjadi betapa sakitnya hati. Untuk itu, marilah kita berlomba-lomba untuk mempelajari dan memahami ilmu dunia dan akhirat sehingga kualitas kehipan kita bermakna.

Semoga !!!!

Senin, April 16

DILEMA UJIAN NASIONAL



Sebagai lembaga pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia cerdas, kreatif, inovatif, beriman, dan bertakwa. Tentu, dalam pelaksanaan proses belajar mengajar harus dilaksanakan dengan sadar, penuh tanggungjawab, serta konsisten terhadap tujuan yang sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional. Disamping itu pula harus mengacu kepada sistem dan pedoman yang ada, sehingga siswa nantinya siap dan matang dalam menghadapi ujian nasional.


Ujian nasional perlu diadakan sebagai indikator atau alat ukur untuk mengetahui mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia. Ujian nasional dilaksanakan sekali dan setahun secara menyeluruh diseluruh Indonesia disetiap jenjang satuan pendidikan. Disamping itu pula, ujian nasional menelan anggaran Negara tidak sedikit, miliaran bahkan triliunan rupiah.  


Detik-detik ujian nasional sudah ada di depan mata. Gelar kelulusan yang menjadi idaman setiap siswa nyaris dirindukan. Gelas kelulusan ternyata sangat indah, manis, dan menggoda setiap siswa. Tanggal 16 April 2012 ujian nasional dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia untuk jenjang SMA/MA/SMK. Ini merupakan momentum untuk menunjukan kemampuan setiap siswa terhadap materi pelajaran yang dilaksanakan selama tiga tahun.


Tentu saja, untuk dapat mendapatkan gelar lulus, maka semua siswa harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah, baik itu syarat akademik maupun syarat administrasi, memiliki keahlian dan ketrampilan pada bidangnya, serta kemampuan dalam pengembangan ilmu dan teknologi secara praktis yang berkelas nasional yang mampu bekerja secara mandiri, bekerja sama dan koordinasi dengan orang lain secara sehat. Tetapi yang terpenting adalah mampu menjawab soal-soal dalam ujian nasional.  



Kelulusan merupakan proses perpindahan  dari status siswa ke mahasiswa atau proses yang menandakan telah menyelesaikan studi di jenjang Sekolah Menegah Atas (SMA) yang sebelumnya bergelut selama tiga tahun. Kaitanya dengan hal ini, kelulusan tidak didapat dengan begitu saja, semudah membalikan telapak tangan. Kelulusahan harus ditempuh melalui ujian nasional yang standar dan pelaksanaanya sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jika siswa tersebut tidak mampu memenuhi standar kompetensi kelulusan, dinyatakan tidak lulus. Begitu juga sebaliknya, jika siswa tersebut mampu memenuhi standar kompetensi kelulusan, maka siswa dinyatakan lulus.


Masalahnya adalah apakah siswa mampu memenuhi standar  kompetensi kelulusan? jika diamati dari hasil ujian nasional dari tahun ke tahun banyak siswa yang lulus dan melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Jadi, dilihat dari hasilnya, dapat dikatakan siswa mampu menuhi standar kompetensi kelususan tersebut. Terus bagaimana dalam pelaksanaanya? apakah siswa yang lulus tersebut murni memiliki kemampuan menjawab soal-soal dalam ujian nasional tanpa campur tangan guru-guru? Jawaban pertanyaan ini penulis serahkan kepada pembaca. Penulis hanya memberikan gambaran. Jika jawannya ya. Maka, ujian nasioanal merupakan indikator atau alat ukur yang tepat dalam menilai mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Dan jika jawabannya tidak. Maka, ujian nasional bukan merupakan sebuah keniscayaan, melainkan sistem yang dapat membentuk “lingkaran setan” atau “noda” di satuan-satuan pendidikan serta pemborosan anggran negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali tentang pelaksanaan ujian nasional atau mencari sistem lain yang lebih tepat, bermanfaat dan bermartabat.


Bagaimana dengan hakekat evaluasi yang sesungguhnya? Banyak pendidik menilai bahwa ujian nasional merupakan evalusi yang tidak adil bagi siswa khusnya dan kulitas pendidikan pada umumnya. Tidak adil jika proses pendidikan yang dilaksanakan selama tiga tahun dievaluasi hanya empat hari. Tidak adil jika mutu dan kualitas pendidikan dinilai hanya pada aspek pengetahuan saja. Bagaimana dengan keterampilan dan sikap? Sedangkan dalam evaluasi kualitas pendidikan itu harus mencakup tiga aspek yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap.


Disamping, seperangkat persoalan di atas, masalah yang lebih urgen adalah kesiapan siswa sebagai aktor utama yang menghadapi ujuan nasional, dalam hal ini berkaitan dengan kesiapan mentalnya. Banyak siswa mengaku tidak siap dengan ujian nasional  sehingga tidak heran banyak siswa merasa takut, bimbang, resah, dll. Kenapa tidak? Meraka dihadapkan dengan pilihan “tidak lulus”, jika ini terjadi maka siswa akan dikucilkan, diremehkan, dan dipermalukan oleh teman-temannya.


Berangkat dari beberapa masalah di atas, sudah menjadi tugas dan tanggungjawab seluruh masyarakat pada umumnya dan pemerintah khususnya agar masalah-masalah tersebut tidak berkepanjangan. Perlu dilakukan identifikasi secara tajam dan mendalam, sehingga persoalan-persoalan tersebut dapat diatasi dengan baik. Mutu dan kulitas pendidikan pun dapat dijamin substansinya.  

  





Minggu, April 15

TABLIGH AKBAR (IKHTIAR MEMBANGUN PERSATUAN UMAT)


         Dalam kehidupan keseharian kita, tentu istilah Tabligh Akbar bukanlah istilah yang asing. Istilah tersebut  justru istilah yang menjadi kegiatan rutin keagamaan. Kita juga sudah sangat akrab dengan istilah Tabligh Akbar, sehingga ada yang kita dengar  kelompok jama’ah tertentu yang menamakan diri sebagai jama’ah Tabligh. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tablîq?

        Pada hakekatnya kegiatan Tabligh Akbar merupakan konsep untuk membangun komunikasi dalam rangka silaturrahmi antara sesama sesama umat.  Dalam hal memberi dan berbagi ilmu agama pada kondisi dan situasi tertentu.  Artinya berbagi dan memberi tentang kebaikan dan kebenaran, sehingga tidak heran dalam kegiatan tersebut  diisi dengan ceramah-ceramah agama atau tausyah yang dikomandankan oleh ustaz-ustaz, baik ustaz lokal maupun nasional. Jadi, Tabligh Akbar itu sesungguhnya adalah upaya membangun persatuan umat untuk melakukan komunikasi intelektual, spiritual dan sosial antara sesama, sehingga tujuan agama dan tujuan sosial dapat terwujud dengan baik. 

      Tabligh Akbar juga merupakan upaya untuk membangun persatuan dan kesatuan umat baik dalam menegakkan sariah agama maupun dalam membangun komitmen sosial. Menelitik pengertian ini tidak sedikit muncul oknum-oknum tertentu dan partai politik tertentu menggunakan istila Tabligh akbar untuk membangun pencitraan atau dukungan masyarakat demi kepentingan politik praktis semata. Nah! Jika hal ini terjadi maka nilai Tablik Akbar akan bergeser pada nilai yang sesungguhnya, dan bukan pahala dan persatuan yang kita dapat melainkan kecurigaan dan perpecahan diantara umat. Kenapa tidak? Karena agama sudah dijadikan sebagai alat politik. Konsep inilah yang perlu kita hindari bersama. Oleh karena itu, perlu adanya niat baik dari semua pihak, baik panitia pelaksana, masyarakat maupun pemerintah untuk membangun komitmen dan konsisten, Tidak ada indikasi dan konspirasi lain selain mewujudkan persatuan dan kesatuan. 

       Untuk itu, Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan dan Kementrian Agama serta Koordinator-koordinator Majelis-majelis ta’lim memiliki peranan penting dalam kegiatan tersebut sehingga intimidasi dan intervensi partai politik tertentu bisa dihindari. Sesungguhnya masyarakat tidak ingin Tabligh Akbar yang suci dikotori oleh kepentingan-kepentingan politik praktis.

         Selaras dengan pernyataan di atas, acungan jempol kita selalu berikan kepada panitia pelaksana kegiatan tablik akbar di Kecamatan Kaubun yang dilaksanakan pada tanggal 15 April 2012. dan bertemakan “Tabligh Akbar  Majelis Ta’lim Se-Kecamatan Kaubun” dengan judul “Meniti Jalan Hidayah Menuju Hidup yang Mermakna dengan Mengetahui Berhala-Berhala Cinta”. Merupakan kegiatan yang sangat bagus dan memiliki nilai bargaining di mata masyarakat Kaubun lebih-lebih dimata bangsa dan negara. Untuk itu, masyarakat, pemerintah, perusahaan-perusahaan khususnya dan umumnya unsur-unsur terkait perlu mendukungnya, sehingga kegiatan tersebut tidak bersifat parsial dan kontemporer. Sangat perlu diadakan kegiatan lanjutan, tidak semestinya sekali dalam setahun tetapi bisa dilakukan juga dua kali dalam setahun, ini tergantung dari kemauan dan kesungguhan dari seluruh elemen masyarakat. 

         Berangkat dari kegiatan di atas, masalahnya adalah apakah kegiatan tersebut dibawah kendali partai politik tertentu? Sehingga tidak sedikit orang beranggapan bahwa itu merupakan kegiatan politik partai untuk mendapatkan dukungan. Kita tentunya, harus berpikir positif, tidak boleh "sok tahu". Dilihat dari efektivitas pelaksanaanya tidak ada unsur-unsur yang mencurigakan seperti tudingan kebanyakan orang. Semuanya berjalan lancar sesuai dengan tujuan bersama. Olehnya demikian, cara pandang kita yang keliru tersebut harus kita perbaiki, kita kedepankan azas-azas kebersamaan dan praduga tak mencurigai. Egoisme dan fanatisme partai harus kita hilangkan. Tidak ada untungnya bagi kita dan bangsa ini jika egoisme dan fanatisme partai dijunjung di atas kepentingan bersama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan. 
     
       Disi lain, majelis ta’lim harus sadar bahwa mereka adalah lembaga independen dan komit terhadap godaan-godaan dari luar. Baik godaan moril maupun materil oleh orang atau partai tertentu. Karena majelis ta’lim merupakan wadah untuk membenahi diri, membina diri, dan semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah SWT serta berorientasi dalam membangun persatuan dan kesatuan umat. 

        Melalui tulisan ini, penulis menawarkan tiga konsep yang perlu kita lakukan dalam upaya membangun persatuan dan kesatuan melalui Tabligh Akbar dalam komunitas majelis ta’lim di Kecamatan Kaubun. sehingga kecurigaan dan tudingan diantara kita dapat terhindarkan.  

       Pertama; kita semua harus sadar bahwa Tabligh akbar dalam komunitas majelis ta’lim di Kecamatan Kaubun lahir tidak ditunggangi dan menunggangi siapa pun. Majelis ta’lim lahir atas dasar kemauan yang luhur dari segenap unsur masyarakat, sehingga keberadaannya bukan milik siapa pun dan basis massa partai manapun. Majelis ta’lim adalah milik bangsa Kaubun seutuhnya.

     Kedua; bagi setiap partai politik harus sadar bahwa majelis ta’lim di Kecamatan Kaubun bukan komoditas atau barang politik yang dapat digiring ke partainya atau tindakan “busuk” lainya, melainkan komunitas yang perlu dibina dan didik dengan memberikan bantuan moril maupun materil dengan ikhlas tanpa mengharapkan balas jasa.

        Ketiga; setiap partai politik dengan bendera manapun, mempunyai hak untuk membantu komunitas majelis ta’lim di Kecamatan Kaubun. Kaitan dengan hal ini, komunitas majelis ta’lim harus menerima dengan ikhlas dan tulus bantuan tersebut dengan mengedepankan praduga tak mencurigai. 

     Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi pembaca khususnya diri pribadi penulis, dan jika ada kritikan dan saran perbaikan tulisan ini selalu diharapkan.
Semoga …




Jumat, April 13

DISIPLIN MAKIN HILANG




PAGI itu, aku berangkat kesekolah memakai motor Mega Pro, berwarna hitam  bermodif ala motor Tiger dan bersayap, mirip motor Vixion. Dengan memakai baju batik berwarna coklat berkotak-kotak. Celana yang kupakai pun berwarna hitam pekat, sepatu hitam serta memakai tas hitam. Penampilanku kali ini ala hitam layaknya orang yang lagi berduka cita.  
 Menuju ke sekolah tempatku mengajar, harus melewati Jalan berbatu, berdebu, dan berlobang. karena jalan tersebut belum diaspal. Jadi, butuh kesabaran dalam melaluinya. Entah kapan pemerintah berencana mengaspalnya, masyarakat sangat berharap akan hal itu.  Sekitar lima menit perjalanan aku pun sampai disekolah.
Sekolah tempatku mengajar adalah SMAN 1 Kaubun Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur.  sekolah tersebut merupakan satu-satunya sekolah SMA Negeri di Kecamatan Kaubun.
Kecamatan kaubun merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten kutai Timur. Pososinya di pelosok, di atas gunung, dikelilingi pohon sawit, dan jauh dari kota Kota. Yang semula bergabung dengan Kecamatan Sangkulirang. Pada tahun 2005 lalu, melepaskan diri dari kecamatan sangkulirang alias mekar membentuk pemerintahan sendiri.
Sedangkan sekolah SMA itu, dulunya SMP 1 Kaliorang, dan setelah Kaubun mekar maka berubah nama menjadi SMP 1 Kaubun. Setalah beberapa tahun berjalan maka pada tahun 2005 diremikan menjadi SMAN 1 Kaubun.
Jumlah Dewan Guru di sekolah tersebut adalah tujuh belas orang. Dua orang pegawai Tata Usaha (TU), satu orang Penjaga Perpustakaan, satu lagi Satpam, dan satu lagi Tukang kebun. Sedangkan Jumlah siswa keseluruhan adalah seratus tujuh puluh lima orang siswa.  yang terdiri dari,  kelas sepuluh, enam puluh dua orang siswa. Kelas sebelas, berjumlah enam pulu orang siswa. Dan Selanjutnya, kelas dua belas berjumlah lima puluh tiga orang siswa. Sungguh jumlah siswa yang cukup sedikit jika dibandingkan dengan sekolah lain.   
Sesampainya aku disekolah, aku langsung menuju ruang guru. Rupanya yang sudah hadir duluan adalah tukang kebun, dia sedang sibuk menyapu ruangan guru. karena pekerjaan dia tidak hanya merawat dan menjaga bunga-bunga ditaman, tugas tambahan dia adalah membersihkan ruang guru setiap paginya.
Aku buka sepatu dan langsung masuk ruangan. Tidak lupa pula aku mengucapkan salam padanya.
“Selamat pagi Pak Komang.”
“Pagi juga Pak,” sambutnya lirih.
“Belum ada yang datang ya, guru-gurunya?” Tanya ku.
“Belum Pak,” jawabnya.
“Oh! kirain sudah masuk, Pak!” sahut ku lagi.
“Belum saya bell kan pak”. Jawabnya lagi.
“Ia, gak apa-apa!” sambutku.
Aku pun melewatinya untuk menuju tempat dudukku, tas yang ku bawa tadi ku letakkan di atas meja. aku duduk sejenak, lalu aku nengok jam dinding dibelakangku. Rupanya jarum pendek sudah menunjukan jam 7 dan jarum panjangnya mengarah ke angka 7. Angka tersebut menandakan bahwa jam masuk sekolah sudah lewat lima menit, berdasarkan kesepakan atau aturan bahwa jam masuk  sekolah jam 07:30. Beralih dari tengokan itu aku tidak langsung mencet bell masuk, aku tetap duduk memandang agak lepas. Lalu aku menekuk dahiku dengan tangan layak orang yang lagi pusing. Dahi itu, kuraba-raba, lalu pikiran pun melayang jauh tak karuan, bertanda bahwa aku merenung.
Aku pun merenung sesejenak, pikiranku terpusat pada teman-teman guru yang lain, yang belum muncul-muncul juga batang hidungnya. Sedangkan siswa dan siswi sudah lebih awal datang. Aku khawatir siswa dan siswi berontak, demo, atau sejenis tindakan lain yang menunjukan perlawanan. Karena kejadian semacam ini tidak hanya terjadi hari itu. Boleh dibilang sudah sering terjadi. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul merelungi kotak fikirku. Jam segini kok belum datang? Disiplinnya mana guru-guru ini? Gurukan sebagai contoh, kok malas, justru guru yang terlambat? Apakah mereka masa bodoh dengan profesionalisme keguruannya? Dasar, tidak bertanggungjawab. Apa kata dunia? Kalau seperti ini terus ngak bakalan maju-maju ini sekolah. 
Dalam beberapa menit aku larut dengan seputar pertanyaan-pertanyaan itu. Aku juga bingung kok pikiranku sejauh itu, sehingga aku pun berkaca. Apakah diriku sudah disiplin? Apakah diriku tidak seperti mereka? Mereka yang tidak disiplin itu. Tetapi keyakinan dan pendirianku kuat. Dan aku merasa bahwa apa yang ku lakukan suda sesuai aturan yang berlaku. Tetapi, guru lain menilai seperti apa, aku gak tahu.  
Sesaat kemudian tiba-tiba muncul lah Pak Handoko dan Pak Sujadi. Pak Handoko langsung menyapaku hingga aku kaget dari lamunan itu.
“Hay brow!” sahutnya.
“Hay juga,” jawabku.
“Sudah bel masuk ya?” tanyannya.
“Belum,” jawab ku.
“Kok, belum? Inikan sudah jam 07:45, sudah lewat lima belas menit brow”. sahutnya lagi dengan nada serius.
“Ia juga sih, sebenarnya dari tadi ingin saya mencet bell masuk, tapi, guru-gurunya belum ada. Siapa yang masuk ngajar, coba”? jawabku dengan nada serius pula.
“Ya sudah, kita bell masuk sekarang, brow” ajaknya.
“lanjut, brow,” jawabku.
Brow adalah sapaan akrab kami berdua, brow kami anggap sebagai bahasa yang dapat mempererat hubungan dan keakraban kami. Setiap bertemu kata brow selalu hadir duluan. Halo brow lah, lagi apa brow lah, mau kemana brow lah. Pokoknya kata brow selalu ada dalam kebersamaan kami.  
Pak Sujadi tidak Tanya apa-apa kepadaku, dia langsung menuju tempat duduknya sambil tersenyum.
Bell masuk pun Pak Handoko bunyikan, dan rupanya semua siswa masuk dalam ruangan kelas masing-masing, sembari menunggu guru yang mengajarinya hari itu. Menunggu rupanya pekerjaan yang membosankan, pekerjaan yang menjengkelkan bagi kebanyakan orang. Untuk mewarnai penantian itu, mereka hanya bermain-main, curhat, dan bahkan ada yang keluar masuk kelas tanpa ada tujuan yang jelas. Jika dipikir-pikir secara logis, apa yang dilakukan siswa tersebut tidak ada manfaatnya ketimbang pergi keperpustakaan belajar mandiri disana, atau belajar baca-baca buku di kelas. Karena saat ini, dituntut untuk menjadi siswa aktif artinya siswa harus mampu belajar mandiri. Entalah, itu hanya harapanku saja yang nimbrung sesaat, datang dan pergi begitu saja. Mungkin mereka tidak tahu tentang itu. Yang jelas, mereka sangat membutuhkan kehadiran seorang guru untuk membimbing dan mengajarinya. Sosok seorang guru adalah malaikat bagi mereka.
Rupanya, yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya adalah Ibu Lina, nama lengkapnya Melina Putri, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ibu Melina adalah salah satu guru yang berkeluarga di kota . Status keguruannya sudah CPNS diangkat tahun 2010. Melina Putri adalah salah satu ibu guru yang sering ditunggu kedatangannya oleh siswa-siswa. Karena kebiasaan buruknya datang tidak tepat waktu kalau nggak sepuluh menit atau dua puluh menit sudah masuk baru dia nongol. 
Pak Handoko adalah guru Olah Raga, sedangkan Pak Sujadi adalah Guru Mata Pelajaran PKn, sedangkan aku sendiri guru pembimbing mata pelajaran Bahasa Indonesia. Status aku dan Pak Sujadi Guru TK2D yang baru diangkat kemarin tahun 2011, sedangkan Pak Handoko masih honor sekolah.
Meskipun bell masuk sudah dibunyikan. Rupanya, kami bertiga menyempat diri untuk berdiskusi sejenak tentang guru-guru yang lain khususnya guru-guru yang CPNS berasal dari Sanggat.
          Aku pun membuka diskusi tersebut dengan kata memancing, berupa pertanyaan yang sederhana dan simpel.
“Kenapa ya Pak, kok ibu-ibu dari kota  acuh terhadap tugas dan tanggungjawabnya.? sudah datang terlambat, sering tidak masuk lagi. Mereka sebenar yang harus lebih aktif dari kita, mereka kan sudah CPNS ketimbang kita masih honor,” tanyaku dengan meyakinkan.
Lalu Pak Sujadi menyambung, “Sepertinya mereka masa bodoh terhadap tugas dan  tanggungjawabnya. Kebiasaan ini tidak sekali dua kali boleh dibilang sering”.
“Betul itu Pak, coba aku jadi Kepala Dinas atau Bupati sudah aku pecat dari dulu,” Pak Handoko menambahkan.
“Ya sudah Pak, ayo kita masuk kelas,” ajakku.
          Kami pun masuk kelas untuk mengajar.
Ibu guru yang menjadi bahan diskusi kami tadi rupanya suami dan anaknya bertempat tinggal di Kota . Setiap hari jumat dan sabtu ketiga ibu guru tersebut jarang ada meskipun ada jam mengajar pada hari itu. Yang saya tahu, tanpa ada alasan yang jelas mereka nyelonong begitu saja tanpa memperdulikan tugasnya. Tanpa alasan yang jelas. Setiap aku bercanda sama mereka alasannya sederhana saja, karena kangen dan rindu sama suami dan anak. Dengan pedenya mereka jawab seperti itu, tanpa ada beban sedikit pun atas tugas dan tangungjawab yang diembannya.
Jam pertama, aku masuk di ruang kelas sebelas IPA. Dengan penuh semangat aku menyapa murid-muridku.
“Assalamu’aikum,” sahutku.
“Waalikumsalam” mereka menjawab dengan sorak gembira. Aku langsung menuju kursi dan meja guru dipojok depan kelas, aku duduk dan menyuruh salah satu siswa untuk memimpin doa.
“Anak-anakku sekalian, mengawali pertemuan ini. Saya akan memberikan motivasi tentang kedisiplinan.  Disiplin dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah latihan kepekaan batin dan watak supaya menaati peraturan; kepatuhan pada aturan. Jadi, kaitanya dengan sekolah kita adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas guru dan siswa sudah diatur sedikian rupa. Hal ini sudah dibuat dalam bentuk aturan yang baku. Semua warga sekolah diharapkan untuk menaatinya tanpa terkecuali. Disiplin itu sangat penting untuk kita laksanakan, terutama disiplin waktu. Misalnya; datang tepat waktu. Oleh karena itu, marilah kita mengatur waktu dalam kehidupan sehari-hari  sehingga bermanfaat.”
“Okey! anak-anak siap untuk disiplin,” tanyaku.
“Siap,” jawab mereka dengan penuh semangat.
Sesaat kemudian tiba-tiba seorang siswa mengangkat tangan. Aku pun bertanya kepadanya.
“Kenapa kau mengangkat tangan Nano.” Nama lengkapnya Nano Susanto, dan biasa disapa teman-temannya Nano, dia rupanya ketua OSIS. Dengan penuh semangat dia berdiri dan berkata.
“Mana mungkin kami bisa disiplin pak, guru-gurunya saja tidak disiplin, ini kan aneh, guru yang menyuruh disiplin justru guru yang tidak disiplin. Jadi, jangan salah kan kami, gurukan seharusnya menjadi contoh yang baik”. Tegasnya.
Aku pun bingung mau jawab apa, rupanya apa yang aku diskusikan sama teman-teman guru dikator tadi bukan lagi menjadi rahasia pribadi atau kelompok. Masalah ini sudah menjadi rahasia umum warga sekolah, siswa dan siswi pun tahu dan membicarakannya. Setelah Nano selesai berbicara menyampaikan tanggapannya, dengan tiba-tiba satu orang siswa berdiri lagi, sambil mengangkat tangat. Yang satu ini namanya Muh. Arung Awaluddin, biasa disapa oleh teman-temannya Awal. Dia juga merupakan anggota OSIS, teman seperjuangan Nano. Aku pun langsung meresponnya.
“Awal mau menanggapi?”
“Ia Pak,” jawabnya.
Akupun menyuruhnya untuk berbicara.
“Begini pak, saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Nano tadi, itu benar adanya. Tetapi, saya ingin tambahkan sedikit saja. Meskipun mereka hadir disekolah dan masuk dalam kelas, mereka hanya memberi tugas dan menyuruh untuk mencatat terus tanpa dijelaskan kemudian.  Dan hal ini sering kali terjadi. Jujur pak, kami merasa bosan dengan gaya atau cara mengajar guru seperti itu”. Pungkasnya tanpa basa-basi.  
Aku pun langsung mengambil alih pembicaraan, karena aku khawatir masalah ini berkelanjutan sehingga materi yang ingin aku ajarkan terlupakan.
“Baiklah kalau seperti itu, nah! tugas kita sekarang adalah membangun komunikasi antara guru dengan siswa. Kalian jangan tinggal diam terhadap masalah tersebut, karena kalian memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, sehingga disiplin ini, benar-benar ditegakkan baik oleh siswa maupun oleh guru.  Segera lakukan komunikasi yang intens dengan kepala sekolah, biar kepala sekolah menyelesaikannya,” tegasku.
Aku pun mengalihkan perhatian mereka ke materi pelajaran.
Selesai mengajar di kelas sebelas IPA tersebut, aku pun bergegas menuju ruang guru. Dari kejauhan tanpak sepatu hak tinggi berjejer di teras pintu kator. Ingatanku langsung tertuju pada ibu-ibu dari Kota   yang dijadikan objek kritikan Nano dan Awal tadi. Kataku dalam hati. Rupanya mereka sudah datang. Tapi, kok kenapa mereka ngak masuk ngajar ya? Tanyaku dalam hati pula.
Sesampaiku dikantor aku mengucapkan salam.
“Assalamu’alikum”.
Rupanya salamku gak ada yang menjawab, entah mereka jawab dalam hati atau nggak, hanya mereka dan Tuhan yang tahu, tetapi yang jelas aku nggak mendengar jawaban dari salamku tadi. Aku pun bergegas menuju kursi tempatku, karena tempat dudukku melewati meja mereka, aku melewatinya. Aku pun duduk dan ku arahkan mata ke mereka, mejaku dengan meja mereka saling berhadapan rupanya mereka lagi asyik bermain leptop, entah ada yang diketik atau otak-atik. Mereka masing-masing melotot leptop di depannya dengan serius dan sambil menggelengkan kepala.
Beberapa menit aku duduk. Datanglah Ibu Sinagar dengan membawa sejumlah uang. Rupannya hari itu mereka gajian untuk yang CPNS sedangkan yang honor sabar dulu, tunggu tiga bulan kalau nggak enam bulan.
Aku pun pura-pura membuka-buka buku layaknya orang membaca, tetapi pendengaran dan perasaanku memperhatikan tingkah mereka.
Satu persatu Ibu Sinagar mendekatinya untuk serah terima gaji bulan April 2012. Tiba lah giliran Ibu Melina, salah satu Ibu dari Kota  yang manjadi sorotan siswa-siswi tadi.
Dengan nada tinggi ia bertanya kepada Ibu Sinagar sebagai bendahara Gaji.
“Kok kurang lima ribu bu?” tanyanya.
“Ia bu, karena dipotong uang transportasi untuk bendahara gaji”. Jawabnya dengan penuh meyakinkan.
“Kalau sering dipotong juga kan bisa TEKOR kita bu” sambungnya dengan nada tinggi, muka masam.
“Tapi dipotong per tiga bulan ja kan bu?” tanggap bendahara.
“Meskipun begitu, tetap aja kami TEKOR” jawabnya kembali.
Tanpa menghiraukannya lagi, bendahara gaji pun bergegas pergi dengan muka masam, sejuta kebencian. Melihat gerak-geriknya bubuhan dari kota  juga tidak konek dengan bendahara gaji, entah masalah apa aku tidak tahu. Jarang juga bahkan aku tidak pernah lihat mereka berkomunikasi urusan yang lain selain urusan duit.
Mendengar percakapan mereka tadi, negatife thingking pun merasuki pikiranku, dalam menilai ketiga ibu guru tersebut. Urusan uang nomor satu, lima ribu rupiah untuk sumbangan  dipermasalahkan, apalagi lebih dari itu. Sedangkan, tugas dan tanggungjawab nomor terakhir. Sudah malas, sering datang terlambat, jarang masuk dan tidak bertanggungjawab lagi. Ternyata mereka hanya mengharapka gaji, disiplin, kebersamaan  dan sikap  profesionalisme diabaikan. Tidak seperti layakya aku dengan guru honor lain yang berasal dari desa yang selalu berkomunikasi, curhat, makan bareng, setiap harinya. Mereka dari kota cenderung menghindar, berpikir negatif, acuh, egois. Nyatanya setiap acara disekolah mereka tidak pernah hadir dan ada. Misalnya; acara keagamaan, kegitan OSIS, dll. Justru kesempatan bagi mereka untuk pulang ke kota, bersenang-senang dengan suami dan anaknya.
Sekian menit aku larut dalam negatife thingking itu. Aku pun memutar kembali otak untuk menyadarkan diri, rupanya aku sudah terlalu jauh berpikir negatif tentang mereka. Tetapi mana yang harusku percaya perasaanku atau kenyataan yang terjadi? Yang terjadikan benar demikian, bukan saja yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, orang lain, guru-guru lain, siswa dan siswipun menilainya seperti apa yangku pikirkan. Ya! Benar adanya. pikiran negatifku tadi alias negatif tinghing itu.
Lamunan panjang itu, mengarahkan aku pada sebuah kesimpulan bahwa disiplin keguruan yang kita emban sebagai guru makin hari makin hilang. Menegakkan kedispilinan yang menjadi misi guru hanya dijadikan sebagai slogan, clote belaka, tanpa makna. Kenyataannya guru sendiri yang tidak disiplin. Sederhana saja kita berpikir. Gurukan sebagai contoh dan tauladan siswa-siswinya, seharusnya gurulah yang terdepan dan terdisiplin. Sehingga bisa dijadikan contoh.
Jiwaku menganga, kedirianku meronta. Bukan sifatku yang diam ketika melihat keburukan di depan mataku. Keinginan pun hadir untuk menyapa.  
Hatiku berkata, tidak!, Tidak! Hal ini tidak boleh aku biarkan berlarut-larut. Tindakan, kebiasaan, dan masa bodoh meraka terhadap tanggungjawabnya. Tindakan ini dapat mencoreng nama baik guru dimata siswa dan siswi lebih-lebih dimasyarakat, bangsa dan Negara. Aku tidak boleh tinggal diam, membiarkan begitu saja pembusukan itu. Aku harus melaporkannya kepada atasanku, kepala sekolah mungkin bisa menasehatinya. Tidak boleh tidak, aku harus komunikasikan masalah ini. Mungkin kepala sekolah bisa memberikan masukan sehingga mereka sadar bahwa tindakannya telah mencoreng profesionalisme keguruan.
***


  


SEREMONIAL WORKSHOP; MENYIMAK SAMBUTAN PLT KEPALA DINAS PENDIDIKAN KALTIM

HORISON - Senin, 20 Oktober 2025 pukul 14.00 wita dilaksanakan pembukaan “Workshop Perhitungan dan Pemetaan Data Kebutuhan Guru Pendidikan M...