DISIPLIN MAKIN HILANG
PAGI itu, aku berangkat kesekolah memakai motor Mega Pro, berwarna
hitam bermodif ala motor Tiger dan
bersayap, mirip motor Vixion. Dengan memakai baju batik berwarna coklat berkotak-kotak.
Celana yang kupakai pun berwarna hitam pekat, sepatu hitam serta memakai tas
hitam. Penampilanku kali ini ala hitam layaknya orang yang lagi berduka cita.
Menuju ke sekolah
tempatku mengajar, harus melewati Jalan berbatu, berdebu, dan berlobang. karena
jalan tersebut belum diaspal. Jadi, butuh kesabaran dalam melaluinya. Entah
kapan pemerintah berencana mengaspalnya, masyarakat sangat berharap akan hal
itu. Sekitar lima menit perjalanan aku
pun sampai disekolah.
Sekolah tempatku mengajar adalah SMAN 1 Kaubun Kabupaten
Kutai Timur Kalimantan Timur. sekolah
tersebut merupakan satu-satunya sekolah SMA Negeri di Kecamatan Kaubun.
Kecamatan kaubun merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten
kutai Timur. Pososinya di pelosok, di atas gunung, dikelilingi pohon sawit, dan
jauh dari kota Kota. Yang semula bergabung dengan Kecamatan Sangkulirang. Pada
tahun 2005 lalu, melepaskan diri dari kecamatan sangkulirang alias mekar
membentuk pemerintahan sendiri.
Sedangkan sekolah SMA itu, dulunya SMP 1 Kaliorang, dan
setelah Kaubun mekar maka berubah nama menjadi SMP 1 Kaubun. Setalah beberapa
tahun berjalan maka pada tahun 2005 diremikan menjadi SMAN 1 Kaubun.
Jumlah Dewan Guru di sekolah tersebut adalah tujuh belas
orang. Dua orang pegawai Tata Usaha (TU), satu orang Penjaga Perpustakaan, satu
lagi Satpam, dan satu lagi Tukang kebun. Sedangkan Jumlah siswa keseluruhan
adalah seratus tujuh puluh lima orang siswa. yang terdiri dari, kelas sepuluh, enam puluh dua orang siswa. Kelas
sebelas, berjumlah enam pulu orang siswa. Dan Selanjutnya, kelas dua belas
berjumlah lima puluh tiga orang siswa. Sungguh jumlah siswa yang cukup sedikit
jika dibandingkan dengan sekolah lain.
Sesampainya aku disekolah, aku langsung menuju ruang guru.
Rupanya yang sudah hadir duluan adalah tukang kebun, dia sedang sibuk menyapu ruangan
guru. karena pekerjaan dia tidak hanya merawat dan menjaga bunga-bunga ditaman,
tugas tambahan dia adalah membersihkan ruang guru setiap paginya.
Aku buka sepatu dan langsung masuk ruangan. Tidak lupa pula
aku mengucapkan salam padanya.
“Selamat
pagi Pak Komang.”
“Pagi
juga Pak,” sambutnya lirih.
“Belum
ada yang datang ya, guru-gurunya?” Tanya ku.
“Belum
Pak,” jawabnya.
“Oh!
kirain sudah masuk, Pak!” sahut ku lagi.
“Belum
saya bell kan pak”. Jawabnya lagi.
“Ia,
gak apa-apa!” sambutku.
Aku pun melewatinya untuk menuju tempat dudukku, tas yang ku
bawa tadi ku letakkan di atas meja. aku duduk sejenak, lalu aku nengok jam
dinding dibelakangku. Rupanya jarum pendek sudah menunjukan jam 7 dan jarum
panjangnya mengarah ke angka 7. Angka tersebut menandakan bahwa jam masuk
sekolah sudah lewat lima menit, berdasarkan kesepakan atau aturan bahwa jam masuk
sekolah jam 07:30. Beralih dari tengokan
itu aku tidak langsung mencet bell masuk, aku tetap duduk memandang agak lepas.
Lalu aku menekuk dahiku dengan tangan layak orang yang lagi pusing. Dahi itu,
kuraba-raba, lalu pikiran pun melayang jauh tak karuan, bertanda bahwa aku
merenung.
Aku pun merenung sesejenak, pikiranku terpusat pada teman-teman
guru yang lain, yang belum muncul-muncul juga batang hidungnya. Sedangkan siswa
dan siswi sudah lebih awal datang. Aku khawatir siswa dan siswi berontak, demo,
atau sejenis tindakan lain yang menunjukan perlawanan. Karena kejadian semacam
ini tidak hanya terjadi hari itu. Boleh dibilang sudah sering terjadi. Pertanyaan
demi pertanyaan pun muncul merelungi kotak fikirku. Jam segini kok belum
datang? Disiplinnya mana guru-guru ini? Gurukan sebagai contoh, kok malas,
justru guru yang terlambat? Apakah mereka masa bodoh dengan profesionalisme
keguruannya? Dasar, tidak bertanggungjawab. Apa kata dunia? Kalau seperti ini
terus ngak bakalan maju-maju ini sekolah.
Dalam beberapa menit aku larut dengan seputar pertanyaan-pertanyaan
itu. Aku juga bingung kok pikiranku sejauh itu, sehingga aku pun berkaca.
Apakah diriku sudah disiplin? Apakah diriku tidak seperti mereka? Mereka yang
tidak disiplin itu. Tetapi keyakinan dan pendirianku kuat. Dan aku merasa bahwa
apa yang ku lakukan suda sesuai aturan yang berlaku. Tetapi, guru lain menilai
seperti apa, aku gak tahu.
Sesaat kemudian tiba-tiba muncul lah Pak Handoko dan Pak
Sujadi. Pak Handoko langsung menyapaku hingga aku kaget dari lamunan itu.
“Hay
brow!” sahutnya.
“Hay
juga,” jawabku.
“Sudah
bel masuk ya?” tanyannya.
“Belum,”
jawab ku.
“Kok,
belum? Inikan sudah jam 07:45, sudah lewat lima belas menit brow”. sahutnya lagi dengan nada serius.
“Ia
juga sih, sebenarnya dari tadi ingin saya mencet bell masuk, tapi, guru-gurunya
belum ada. Siapa yang masuk ngajar, coba”? jawabku dengan nada serius pula.
“Ya
sudah, kita bell masuk sekarang, brow”
ajaknya.
“lanjut,
brow,” jawabku.
Brow
adalah sapaan akrab kami berdua, brow kami anggap sebagai bahasa yang dapat
mempererat hubungan dan keakraban kami. Setiap bertemu kata brow selalu hadir duluan. Halo brow lah, lagi apa brow lah, mau kemana brow lah. Pokoknya kata brow selalu ada dalam kebersamaan kami.
Pak
Sujadi tidak Tanya apa-apa kepadaku, dia langsung menuju tempat duduknya sambil
tersenyum.
Bell masuk pun Pak Handoko bunyikan, dan rupanya semua siswa
masuk dalam ruangan kelas masing-masing, sembari menunggu guru yang
mengajarinya hari itu. Menunggu rupanya pekerjaan yang membosankan, pekerjaan
yang menjengkelkan bagi kebanyakan orang. Untuk mewarnai penantian itu, mereka
hanya bermain-main, curhat, dan bahkan ada yang keluar masuk kelas tanpa ada
tujuan yang jelas. Jika dipikir-pikir secara logis, apa yang dilakukan siswa
tersebut tidak ada manfaatnya ketimbang pergi keperpustakaan belajar mandiri
disana, atau belajar baca-baca buku di kelas. Karena saat ini, dituntut untuk
menjadi siswa aktif artinya siswa harus mampu belajar mandiri. Entalah, itu
hanya harapanku saja yang nimbrung sesaat, datang dan pergi begitu saja.
Mungkin mereka tidak tahu tentang itu. Yang jelas, mereka sangat membutuhkan
kehadiran seorang guru untuk membimbing dan mengajarinya. Sosok seorang guru
adalah malaikat bagi mereka.
Rupanya, yang mereka tunggu-tunggu kehadirannya adalah Ibu
Lina, nama lengkapnya Melina Putri, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ibu Melina
adalah salah satu guru yang berkeluarga di kota . Status keguruannya sudah CPNS
diangkat tahun 2010. Melina Putri adalah salah satu ibu guru yang sering
ditunggu kedatangannya oleh siswa-siswa. Karena kebiasaan buruknya datang tidak
tepat waktu kalau nggak sepuluh menit atau dua puluh menit sudah masuk baru dia
nongol.
Pak Handoko adalah guru Olah Raga, sedangkan Pak Sujadi
adalah Guru Mata Pelajaran PKn, sedangkan aku sendiri guru pembimbing mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Status aku dan Pak Sujadi Guru TK2D yang baru
diangkat kemarin tahun 2011, sedangkan Pak Handoko masih honor sekolah.
Meskipun bell masuk sudah dibunyikan. Rupanya, kami bertiga
menyempat diri untuk berdiskusi sejenak tentang guru-guru yang lain khususnya
guru-guru yang CPNS berasal dari Sanggat.
Aku pun membuka diskusi tersebut
dengan kata memancing, berupa pertanyaan yang sederhana dan simpel.
“Kenapa
ya Pak, kok ibu-ibu dari kota acuh terhadap
tugas dan tanggungjawabnya.? sudah datang terlambat, sering tidak masuk lagi. Mereka
sebenar yang harus lebih aktif dari kita, mereka kan sudah CPNS ketimbang kita
masih honor,” tanyaku dengan meyakinkan.
Lalu
Pak Sujadi menyambung, “Sepertinya mereka masa bodoh terhadap tugas dan tanggungjawabnya. Kebiasaan ini tidak sekali
dua kali boleh dibilang sering”.
“Betul
itu Pak, coba aku jadi Kepala Dinas atau Bupati sudah aku pecat dari dulu,” Pak
Handoko menambahkan.
“Ya
sudah Pak, ayo kita masuk kelas,” ajakku.
Kami pun masuk kelas untuk mengajar.
Ibu guru yang menjadi bahan diskusi kami tadi rupanya suami
dan anaknya bertempat tinggal di Kota . Setiap hari jumat dan sabtu ketiga ibu
guru tersebut jarang ada meskipun ada jam mengajar pada hari itu. Yang saya
tahu, tanpa ada alasan yang jelas mereka nyelonong begitu saja tanpa
memperdulikan tugasnya. Tanpa alasan yang jelas. Setiap aku bercanda sama
mereka alasannya sederhana saja, karena kangen dan rindu sama suami dan anak.
Dengan pedenya mereka jawab seperti itu, tanpa ada beban sedikit pun atas tugas
dan tangungjawab yang diembannya.
Jam pertama, aku masuk di ruang kelas sebelas IPA. Dengan
penuh semangat aku menyapa murid-muridku.
“Assalamu’aikum,”
sahutku.
“Waalikumsalam”
mereka menjawab dengan sorak gembira. Aku langsung menuju kursi dan meja guru
dipojok depan kelas, aku duduk dan menyuruh salah satu siswa untuk memimpin
doa.
“Anak-anakku
sekalian, mengawali pertemuan ini. Saya akan memberikan motivasi tentang
kedisiplinan. Disiplin dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah latihan kepekaan
batin dan watak supaya menaati peraturan; kepatuhan pada aturan. Jadi,
kaitanya dengan sekolah kita adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas
guru dan siswa sudah diatur sedikian rupa. Hal ini sudah dibuat dalam bentuk
aturan yang baku. Semua warga sekolah diharapkan untuk menaatinya tanpa
terkecuali. Disiplin itu sangat penting untuk kita laksanakan, terutama
disiplin waktu. Misalnya; datang tepat waktu. Oleh karena itu, marilah kita
mengatur waktu dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermanfaat.”
“Okey!
anak-anak siap untuk disiplin,” tanyaku.
“Siap,”
jawab mereka dengan penuh semangat.
Sesaat kemudian tiba-tiba seorang siswa mengangkat tangan.
Aku pun bertanya kepadanya.
“Kenapa
kau mengangkat tangan Nano.” Nama lengkapnya Nano Susanto, dan biasa disapa
teman-temannya Nano, dia rupanya ketua OSIS. Dengan penuh semangat dia berdiri
dan berkata.
“Mana
mungkin kami bisa disiplin pak, guru-gurunya saja tidak disiplin, ini kan aneh,
guru yang menyuruh disiplin justru guru yang tidak disiplin. Jadi, jangan salah
kan kami, gurukan seharusnya menjadi contoh yang baik”. Tegasnya.
Aku pun bingung mau jawab apa, rupanya apa yang aku
diskusikan sama teman-teman guru dikator tadi bukan lagi menjadi rahasia
pribadi atau kelompok. Masalah ini sudah menjadi rahasia umum warga sekolah,
siswa dan siswi pun tahu dan membicarakannya. Setelah Nano selesai berbicara
menyampaikan tanggapannya, dengan tiba-tiba satu orang siswa berdiri lagi,
sambil mengangkat tangat. Yang satu ini namanya Muh. Arung Awaluddin, biasa
disapa oleh teman-temannya Awal. Dia juga merupakan anggota OSIS, teman
seperjuangan Nano. Aku pun langsung meresponnya.
“Awal
mau menanggapi?”
“Ia
Pak,” jawabnya.
Akupun
menyuruhnya untuk berbicara.
“Begini
pak, saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Nano tadi, itu benar
adanya. Tetapi, saya ingin tambahkan sedikit saja. Meskipun mereka hadir
disekolah dan masuk dalam kelas, mereka hanya memberi tugas dan menyuruh untuk
mencatat terus tanpa dijelaskan kemudian. Dan hal ini sering kali terjadi. Jujur pak,
kami merasa bosan dengan gaya atau cara mengajar guru seperti itu”. Pungkasnya
tanpa basa-basi.
Aku pun langsung mengambil alih pembicaraan, karena aku
khawatir masalah ini berkelanjutan sehingga materi yang ingin aku ajarkan
terlupakan.
“Baiklah kalau seperti itu, nah! tugas kita sekarang adalah
membangun komunikasi antara guru dengan siswa. Kalian jangan tinggal diam
terhadap masalah tersebut, karena kalian memiliki hak untuk menyampaikan
pendapat, sehingga disiplin ini, benar-benar ditegakkan baik oleh siswa maupun
oleh guru. Segera lakukan komunikasi yang
intens dengan kepala sekolah, biar kepala sekolah menyelesaikannya,” tegasku.
Aku pun mengalihkan perhatian mereka ke materi pelajaran.
Selesai mengajar di kelas sebelas IPA tersebut, aku pun
bergegas menuju ruang guru. Dari kejauhan tanpak sepatu hak tinggi berjejer di
teras pintu kator. Ingatanku langsung tertuju pada ibu-ibu dari Kota yang
dijadikan objek kritikan Nano dan Awal tadi. Kataku dalam hati. Rupanya mereka
sudah datang. Tapi, kok kenapa mereka ngak masuk ngajar ya? Tanyaku dalam hati
pula.
Sesampaiku
dikantor aku mengucapkan salam.
“Assalamu’alikum”.
Rupanya salamku gak ada yang menjawab, entah mereka jawab
dalam hati atau nggak, hanya mereka dan Tuhan yang tahu, tetapi yang jelas aku
nggak mendengar jawaban dari salamku tadi. Aku pun bergegas menuju kursi
tempatku, karena tempat dudukku melewati meja mereka, aku melewatinya. Aku pun
duduk dan ku arahkan mata ke mereka, mejaku dengan meja mereka saling
berhadapan rupanya mereka lagi asyik bermain leptop, entah ada yang diketik
atau otak-atik. Mereka masing-masing melotot leptop di depannya dengan serius
dan sambil menggelengkan kepala.
Beberapa menit aku duduk. Datanglah Ibu Sinagar dengan
membawa sejumlah uang. Rupannya hari itu mereka gajian untuk yang CPNS
sedangkan yang honor sabar dulu, tunggu tiga bulan kalau nggak enam bulan.
Aku pun pura-pura membuka-buka buku layaknya orang membaca,
tetapi pendengaran dan perasaanku memperhatikan tingkah mereka.
Satu persatu Ibu Sinagar mendekatinya untuk serah terima
gaji bulan April 2012. Tiba lah giliran Ibu Melina, salah satu Ibu dari Kota yang manjadi sorotan siswa-siswi tadi.
Dengan nada tinggi ia bertanya kepada Ibu Sinagar sebagai
bendahara Gaji.
“Kok
kurang lima ribu bu?” tanyanya.
“Ia
bu, karena dipotong uang transportasi untuk bendahara gaji”. Jawabnya dengan
penuh meyakinkan.
“Kalau
sering dipotong juga kan bisa TEKOR kita bu” sambungnya dengan nada tinggi,
muka masam.
“Tapi
dipotong per tiga bulan ja kan bu?” tanggap bendahara.
“Meskipun
begitu, tetap aja kami TEKOR” jawabnya kembali.
Tanpa menghiraukannya lagi, bendahara gaji pun bergegas
pergi dengan muka masam, sejuta kebencian. Melihat gerak-geriknya bubuhan dari kota
juga tidak konek dengan bendahara gaji,
entah masalah apa aku tidak tahu. Jarang juga bahkan aku tidak pernah lihat
mereka berkomunikasi urusan yang lain selain urusan duit.
Mendengar percakapan mereka tadi, negatife thingking pun merasuki pikiranku, dalam menilai ketiga ibu
guru tersebut. Urusan uang nomor satu, lima ribu rupiah untuk sumbangan dipermasalahkan, apalagi lebih dari itu.
Sedangkan, tugas dan tanggungjawab nomor terakhir. Sudah malas, sering datang
terlambat, jarang masuk dan tidak bertanggungjawab lagi. Ternyata mereka hanya
mengharapka gaji, disiplin, kebersamaan dan sikap profesionalisme diabaikan. Tidak seperti
layakya aku dengan guru honor lain yang berasal dari desa yang selalu
berkomunikasi, curhat, makan bareng, setiap harinya. Mereka dari kota cenderung
menghindar, berpikir negatif, acuh, egois. Nyatanya setiap acara disekolah
mereka tidak pernah hadir dan ada. Misalnya; acara keagamaan, kegitan OSIS,
dll. Justru kesempatan bagi mereka untuk pulang ke kota, bersenang-senang
dengan suami dan anaknya.
Sekian menit aku larut dalam negatife thingking itu. Aku pun memutar kembali otak untuk
menyadarkan diri, rupanya aku sudah terlalu jauh berpikir negatif tentang
mereka. Tetapi mana yang harusku percaya perasaanku atau kenyataan yang terjadi?
Yang terjadikan benar demikian, bukan saja yang aku lihat dengan mata kepalaku
sendiri, orang lain, guru-guru lain, siswa dan siswipun menilainya seperti apa
yangku pikirkan. Ya! Benar adanya. pikiran negatifku tadi alias negatif tinghing itu.
Lamunan
panjang itu, mengarahkan aku pada sebuah kesimpulan bahwa disiplin keguruan
yang kita emban sebagai guru makin hari makin hilang. Menegakkan kedispilinan
yang menjadi misi guru hanya dijadikan sebagai slogan, clote belaka, tanpa
makna. Kenyataannya guru sendiri yang tidak disiplin. Sederhana saja kita
berpikir. Gurukan sebagai contoh dan tauladan siswa-siswinya, seharusnya
gurulah yang terdepan dan terdisiplin. Sehingga bisa dijadikan contoh.
Jiwaku menganga, kedirianku meronta. Bukan sifatku yang diam
ketika melihat keburukan di depan mataku. Keinginan pun hadir untuk menyapa.
Hatiku berkata, tidak!, Tidak! Hal ini tidak boleh aku
biarkan berlarut-larut. Tindakan, kebiasaan, dan masa bodoh meraka terhadap
tanggungjawabnya. Tindakan ini dapat mencoreng nama baik guru dimata siswa dan
siswi lebih-lebih dimasyarakat, bangsa dan Negara. Aku tidak boleh tinggal
diam, membiarkan begitu saja pembusukan itu. Aku harus melaporkannya kepada
atasanku, kepala sekolah mungkin bisa menasehatinya. Tidak boleh tidak, aku
harus komunikasikan masalah ini. Mungkin kepala sekolah bisa memberikan masukan
sehingga mereka sadar bahwa tindakannya telah mencoreng profesionalisme
keguruan.
***
Komentar