IRONI DUNIA PENDIDIKAN
Diyakini
atau tidak, pendidikan merupakan senjata yang ampuh untuk memangkas kebodohan,
kemiskinan, kekerasaan, penindasan, dan lain sebagainya. Karena pendidikan
merupakan sebuah sistem yang dapat menopang peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM). Dengan pendidikan seseorang mengetahui apa yang tidak diketahui,
memahami apa yang tidak dipahami, dan akan mengerti apa yang tidak dimengerti. Dengan pendidikan pula seseorang berpotensi dari
yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang
tidak baik menjadi baik, dari yang ragu menjadi yakin, dan dari yang pasif
menjadi aktif. Jadi, dengan pendidikanlah kita bisa meningkatkan kualitas
kehidupan seseorang kearah yang lebih baik. Jika pendidikan seperti itu adanya,
apa sebenarnya pendidikan itu?
Bagi saya,
sederhananya adalah pendidkan merupakan proses ‘pencerdasan dan pendewasaan’ kepada
seseorang sehingga menjadi manusia yang berguna bagi dirinya, keluarganya,
masyarakat, bangsa, dan Negara. Untuk bisa cerdas dan dewasa membutuhkan proses
yang cukup panjang serta dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Kecerdasan
adalah memiliki ilmu pengetahuan yang mempuni dan kedewasaan mampu berbuat baik
dan benar. Jadi, keceradaaan itu berkaiatan dengan ilmu dan pengetahuan dan
kedewasaan berkaiatan dengan tutur sapa dan sikap baik.
Dengan demikian,
pendidikan seharusnya diletakan sebagai kebutuhan pokok bagi setiap umat
manusia. Kenapa? Karena pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan dan
lebih merupakan hak, seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat
1, yang bunyinya “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran’. Jika sudah diposisikan sebagai kebutuhan pokok/dasar dan hak, maka
setiap orang dapat dan berkewajiban untuk berlomba-lomba mengunyah pendidikan
mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Jika
tidak, mereka akan ‘lapar’ dan ‘haus’ dalam menjalani hidupnya sehari-hari.
Tetapi celakanya,
ketika masyarakat sudah meletakan pendidikan sebagai kebutuhan pokok/dasar dan
hak dalam kehidupan, maka harga dan biaya pendidikan tersebut semakin hari
semakin meningkat. Akibatnya, sebagian besar masyarakat (khusunya masyarakat
miskin) tidak mendapatkan haknya, kemudian memandang pendidikan sebagai barang ‘langka’
dan ‘mahal’ sehingga membuat mereka tidak mampu untuk ‘membeli’ dan
membayarnya. Kemudian tidak heran yang terjadi adalah banyak yang putus
sekolah, tidak dapat melanjutkan studi keperguruan tinggi, pengangguran dan
kemiskinan semakin meningkat. Hal inilah yang memotivasi saya untuk menulis
artikel yang dikasih judul “Ironi Dunia Pendidikan”.
Percaya atau
pun tidak, orang yang tidak berpendidikan (pengangguran) yang sejatinya miskin,
tidak tahu, tidak biasa, pasif, dan lain sebagainya, bukan karena dia tidak mau atau tak ingin sekolah,
tetapi tidak punya uang untuk membiayai sekolahnya. mereka memandang dunia
pendidikan sebagai ikon yang ‘menakutkan’. Apalagi akhir-akhir ini biaya
sekolah khususnya perguruan tinggi semakin hari semakin naik dan mahal. Ini lah
menjadi keluhan, sehingga tidak berlebihan jika penulis mengatakan “orang
miskin tidak perlu sekolah” itu sudah menjadi nasibmu, tunggu saja ditindas dan
dieksploitasi. Pernyataan ini kedengarannya sederhana tetapi menyakitkan bagi
kebanyakan orang.
Harus diakui
juga agresifitas pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
sekolah gratis. Tetapi ini berlaku hanya beberapa daerah saja, dan masih banyak
daerah yang pungutan liar (pungli) dari siswa dengan alasan demi kemajuan
sekolah atau dengan alasan lain. Dan jika dilihat dari kualifikasi pendidikan,
jelas izasa D3 tidak berlaku lagi hari ini apalagi SMP dan SMA. Sedangkan yang
digratiskan hanya SD-SMA, selanjutnya ditanggung sendiri. Dengan demikian,
perlu adanya tanggungjawab pemerintah terhadap pendidikan sampai seseorang
mendapatkan izasa yang dapat ‘diandalkan’. Bukan sampai SMA saja. Dan kalau pun
ada yang disekolahkan oleh pemerintah bukan orang miskin melainkan orang kaya,
anak-anak pejabat, dan keluarga terdekat penguasa. Masih banyak lagi persoalan
lain yang terus melilit dunia pendidikan dinegri ini, misalnya; profesionalisme
guru, sarana dan prasarana, media pembelajaran, dan lain-lain.
Berangkat dari
beberapa persoalan di atas itulah kemudian yang saya sebut sebagai “ironi dunia
pendidikan”. Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerentah
daerah terkesan setengah-setengah, diskriminatif, dan mengabaikan amanat
konstitusi serta tidak adanya kesungguhan dan keseriusan dari semua unsur yang
prihatin terhadap pendidikan khususnya pemerintah, untuk benar-benar
mengejewantahkan nilai-nilai pendidikan, sehingga tertanam dalam diri seseorang.
Jika penyelenggaraan pendidikan di negeri ini akan terus-menerus seperti ini
jangan berharap ‘mencerdaskan dan mendewasakan anak bangsa dapat terwujud
dengan baik.
Komentar