PEREMPUAN DAN GENDER (WANITA JUGA MANUSIA)
Akhir-akhir ini, sering kita dengar
istilah gender. Kata gender sering terngiang di telinga kita dalam aktivitas
keseharian. Ini menunjukan bahwa gender bukan barang baru, bukan pula istilah
baru yang muncul hari ini, melainkan sudah lama didengungkan oleh kaum
perempuan. Jika melirik dari sejarahnya, konsep gender digagas oleh ibu R.A.
Kartini. Beliau tercatat sebagai tokoh yang membangkitkan kesadaran kaum
perempuan akan pentingnya persamaan hak
dan kewajiban serta kesetaraan kedudukan kaum perempuan dan kaum
laki-laki dalam bergai bidang kehidupan. Dengan demikian, R.A. Kartini lahir
sebagai tokoh perempuan dengan simbol “gender” sebagai alat dan tameng
perjuangan.
Meminjam pengertian
dari Eni Kusdarini dosen jurusan PKn Universita Negeri Yogyakarta, gender
merupakan konstruksi atau bangunan budaya tentang peran, fungsi, kedudukan, dan
tanggungjawab sosial antara kaum laki-laki dan perempuan. Pengertian di atas
mengamanatkan bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan substansinya sama dan
setara dalam memainkan peran, fungsi, kedudukan, dan tanggungjawab sosial dalam
berbagai bidang kehidupan, misalnya; politik, hukum, sosial budaya, pendidikan,
dan lain sebagainya. Yang membedakan kaum perempuan dengan kaum laki-laki hanya
dalam bentuk fisik atau jenis kelamin. Jadi, kaum laki-laki harus sadar bahwa
kaum perempuan adalah manusia biasa yang punya “rasa dan punya hati”, memiliki
kemampuan layaknya kaum laki-laki pada umumnya. Dominasi kaum laki-laki (budaya
patriarki) harus dan segera dipangkas di muka bumi ini.
Bertolak dari
pernyataan di atas, realitas di lapangan menunjukan justru perempuan sendiri
yang menampakan dirinya sebagai insan lemah, tidak berdaya, manja, cemen, dan
lain sebagainya. Sikap semacam itu, ditunjukan oleh sebagian besar kaum
perempuan dalm kesehariannya. Rupanya, sikap tersebut sudah menjadi kebiasaan
dan kultur/budaya kaum perempuan yang sudah melekat sejak dulu hingga sekarang.
Hal ini menandakan bahwa penindasan itu tidak dilakukan oleh kaum laki-laki
melainkan perempuan itu sendiri. Masalahnya adalah jika sikap perempuan terus
seperti itu, apakah kesetaraan gender mampu diperjuangkan? Bagaiman sikap
perempuan seharusnya, sehingga tujuan kesetaran gender dapat terwujud? dan apa
yang harus dilakukan oleh kaum perempuan sehingga cita-citanya tercapai dengan
baik? Ketiga pertanyaan tersebut kedengaranya sederhana tetapi jawabannya
sangat sulit dan rumit.
Kongkritnya adalah
jika kaum prempuan terus-menerus bergelut dengan sikap-sikap tersebut, jangan
harap diskriminasi dan penindasan terhadap dirinya mampu dihilangkan, dan kesetaraan gender yang menjadi simbol
perjuangan hanya sekedar cloteh belaka. Seharusnya kaum perempuan mampu
menghindari sikap dasar tersebut. menganggap diri lemah, tidak berdaya, sikap
manja, cemen, dan lain sejenisnya benar-benar dijauhkan dari kediriannya alias
tidak perlu ditunjukan lagi dalam sikap kesehariannya. Wujudkan jati diri
sebagai insan yang kuat, siap bekerja, tidak mengeluh, berani mengambil keputusan,
siap menghadapi resiko, pantang menyerah, dan bertanggungjawab. Ibaratkan
“wanita besi” atau “wanita baja” sebagai simbol kekuatan kediriannya, dan/atau
layaknya kaum laki-laki pada umumnya.
Jika sikap-sikap
tersebut dimanifestasikan dalam kehidupannya sehari-hari, maka yakin dan
percayalah diskriminasi dan penindasan yang dialaminya tidak berkepanjangan.
Disamping itu pula, kaum perempuan harus mampu mengikat diri dalam sebuah wadah
perjuangan dalam hal ini bisa dalam bentuk organisasi perempuan atau kumpulan-kumpulan
perempuan yang di dalamnya ada kegiatan orientasi pemberdayaan perempuan, atau
dengan kata lain “pengkaderan perempuan”. Sehingga dari generasi ke generasi
terbesit jati diri mereka yang sesungguhnya, kemudian kesadaran kesetaran
gender benar-benar tertanam dalam jiwa kaum perempuan. Organisasi tersebut
dapat berskala lokal maupun nasional tetapi yang terpenting adalah komitmen dan
konsisten dalam membangun komunikasi dalam mewujudkan tujuan organisasi
dilaksanakan dengan baik.
Kaum laki-laki dan
kaum perempuan juga harus sadar bahwa mereka adalah sama-sama hamba Tuhan.
Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan di mata Tuhan. Keduanya
mempunyai potensi dan kemampuan yang sama untuk menjadi hamba ideal. Yakni
hamba yang bertakwa, berekspresi, berimajinasi, berinovasi, dan berkreasi.
Tidak dikenal adanya perbedaan, jenis kelamin, suku bangsa, atau kelompok
tertentu. Kaum laki-laki dan kaum perempuan masing-masing memiliki peluang yang
sama untuk mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya
(Q.s. al-Nahal/16:97). Jadi, bererdasarkan ayat tersebut dimata Tuhan kaum
laki-laki dan perempuan itu sama. Untuk itu, sudah sepantasnyalah kaum
laki-laki dan kaum perempuan saling menghargai dan saling menghormati tidak ada yang ditindas, dianiaya, dimaki,
dimarginalkan, dikucilkan, dan lain sebagainya. Keduanya berada dalam kondisi
yang menyenangkan.
Disamping itu,
perempuan juga harus sadar dengan ikhtiar atau upayanya untuk bangit dalam
mensejajarkan posisnya dengan kaum laki-laki melalui bingkai gender. Jangan
hanya gender sebagai slogan semata, tetapi harus benar-benar diperjuangkan
dalam wujud nyata dengan simbol perjuangan “tunduk tertindas bangkit untuk
melawan diam berarti penghianat”, sehingga tujuan dan cita-citanya dapat
terwujud dengan baik.
Mudah-mudahan dengan
adanya peringatan hari kartini atau hari kebangkitan perempuan yang
dilaksanakan setiap tahun. Tepatnya, pada tahun ini dilaksanakan pada hari
Sabtu tanggal 21 April 2012, memberikan kesadaran positif bagi kaum perempuan
khususnya, dan kaum laki-laki pada umumnya akan pentinya persamaan peran,
fungsi, dan kedudukan dalam berbagai bidang kehidupan tanpa pandang bulu.
Semoga…
Untuk mengahiri
tulisan ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan tulisan ini, karena penulis sadar bahwa tulisan ini jauh dari
kesempurnaan.
Ditunggu!!!
Komentar