LEGENDA LA HILA
Di
zaman dulu, hidup seorang putri di Kala, Donggo. Namanya La Hila.
Cantik jelita. Kulitnya putih bersih. Lehernya berjenjang. Jika makan
dan minum, tampaklah makanan dan minuman yang ditelan. Alis sang putri
seperti semut beriring. Rambutnya panjang terurai. Jika sang putri mandi
keramas atau mencuci rambut, dibutuhkan tujuh belah jeruk bundar (dungga mbolo)
serta tujuh belah kelapa atau tiga setengah butir. Manakala sang putri
mengeringkan rambutnya, diperlukan tujuh galah panjang untuk
menjemurnya.
Gadis ini belakangan akrab dipanggil La
Hila atau Sang Putri yang Hilang. Ceritanya bermula ketika kabar
mengenai kecantikan La Hila terkenal seantero negeri hingga ke kerajaan
seberang. Banyak pemuda yang ingin meminangnya. Para pemuda itu merasa
cemburu dan berujung pada keributan di antara mereka.
Paman dan bibi La Hila mencium bahaya
besar jika keadaan dibiarkan berlarut-larut. Untuk menghindari bahaya
yang lebih besar, La Hila diminta untuk menyembunyikan diri. Rencana
paman dan bibinya tersebut tidak disampaikan ke orang tua La Hila. La
Hila setuju bersembunyi. Dia minta paman dan bibinya membuat lubang
persembunyian dalam tanah, semacam bunker. La Hila minta supaya
disertakan pula perangkat menenun dalam lubang persembunyiannya.
Pagi-pagi La Hila masuk ke dalam lubang
yang sudah disiapkan. Sore harinya paman dan bibinya mengantar makanan.
Esok harinya, keduanya kembali mengantar makanan La Hila. Alangkah
kagetnya mereka karena tidak menemukan La Hila di tempatnya. Hanya ada
alat menenun saja di situ. Paman dan bibinya sangat sedih. Bibinya
menangis seraya mencabut pucuk rebung yang tumbuh dekat lubang
persembunyian La Hila. Anehnya, rebung tersebut mengeluarkan darah.
Disaat bersamaan terdengar teriakan menahan sakit. Namun orang yang
berteriak tidak tampak. Bunyi teriakannya, “Jangan dicabut, sakit bibi.
Ini saya bibi. Saya sudah menjadi rebung”. Tentu saja pasangan suami
istri itu kaget bukan alang kepalang. La Hila lalu berpesan kepada paman
dan bibinya, “Bambu ini jangan dirusak. tolong dijaga hingga anak
cucu”.
Mengetahui anaknya sudah hilang, ibunda
La Hila mendatangi lubang persembunyian anaknya. Dia menangis
mengelilingi pohon rebung tersebut seraya bernyanyi. Itulah asal mula “Kalero“, musik khas Donggo.
Rimbunan bambu jelmaan La Hila masih ada
di O’o, namun tidak lagi terpelihara seperti pesan La Hila. Masyarakat
setempat menebangnya untuk aneka keperluan seperti untuk perlengkapan
membangun rumah.
Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.
Komentar