CAHAYA ISRA’ & MI’RAJ ; MENITI JALAN MENUJU SURGA
Sebelum berbicara Isra’ dan Mi’raj, mari kita
sama-sama meningkatkan ketakwaan kita kepada allah SWT yang sebenar-benarnya
takwa, yakni menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa
yang diucapkan dengan lisan dan wujudkan dalam perbuatan. Kemudian segala aktivitas
dan komunikasi yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari harus merupakan
manifestasi dari takwa itu sendiri. Meningkatkan ketakwaan menjadi sangat penting
bagi kita karena peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa yang gaib yang
tidak dapat diterka oleh akal manusia. Untuk itu, dibutuhkan kepercayaan dan
keyakinan (takwa) yang mendalam. Kita harus yakin bahwa Allah itu maha kuasa
atas segala sesuatu tidak ada keraguan sedikit pun dalam hati kita tentang
kekuasaan-Nya. Seluruh kekuasaan dan kehendak-Nya telah tertuang dalam al-quranul
karim. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj pun telah dideklarasikan-Nya dalam al-qur’an
sebagai berikut.
“Subhaanalladzii
asraa bi ‘abdihii lailam minal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii
baaraknaa haulahuu li nuriyahuu min aayaatinaa innahuu huwas samii’ul bashiir”
Artinya; “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang
telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (Al Israa’, 17 : 1)
Firman Allah di atas sebagai bukti, bahwa
peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu benar-benar ada dan terjadi yang tidak
perlu diragukan lagi kebenarannya atau
tidak perlu lagi diperdebatkan substansinya, baik oleh umat islam itu sendiri
maupun umat islam dengan umat lain. Allah SWT adalah maha kuasa atas segala
sesuatu, tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, hanya bersabda “Kun Fayakun” jadilah maka jadilah.
Allah menegaskan melalui firman-Nya di atas, bahwa Nabi Muhammad SAW telah
diperjalankan dari Masjid Al-Haram di Makkah ke Masjid Al-Aqsha di Madinah,
inilah yang kita sebut sebagai Isra’ (perjalanan horizontal). Kemudian dilanjutkan
dengan perjalan vertikal. Mulai dari masjid Al-aqsha ke sidratul muntaha
(langit ketujuh), hal inilah yang kita sebut sebagai Mi’raj. Jadi, Isra’ wal
Mi’raj adalah perjalan Nabi Muhammad dari masjidil haram ke masjidil aqsha dan
dilanjutkan ke sidratulmuntaha (langit ketujuh) dengan durasi waktu semalam
untuk bertemu langsung dengan Allah SWT dalam rangka menerima ibadah shalat.
Ayat tersebut juga merupakan bukti otentik
bahwa Nabi Muhammad SAW telah menerima ibadah shalat langsung berhadapan dengan
Sang Ilahi Rabbi tanpa perantara malaikat jibril seperti layaknya ibadah-ibadah
yang lain. Misalnya; sedekah, infak, puasa, jakat, haji, dan lain-lain.
Sehingga tidak lah heran bagi kita, ibadah shalat merupakan inti atau tiang
agama. Seperti disabdakan oleh Rasulullah “Assalatu
Imaddudin” artinya shalat adalah tiang agama. Jadi, dalam hal ini dapat
kita simpulkan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah peristiwa untuk
menegakkan ibadah shalat.
Masalah yang kerap kali didengungkan oleh
sebagian dari kita atau paling tidak yang menjadi bahan perdebatan baik oleh
sesama umat islam maupun umat islam dengan nonislam yang minim
ketakwaan/keimanannya adalah apakah peristiwa Isra’ Mi’raj itu benar-benar
terjadi? Apakah mungkin seseorang manusia dengan gelar Nabi dapat menembus
langit ketujuh? Apakah yang Isra’ wal Mi’raj itu hanya rohnya Nabi Muhammad SAW?
Jika hanya rohnya maka peristiwa Isra’ wal Mi’raj hanyalah mimpi belaka? Apakah
yang Isra’ wal Mi’raj itu roh dan jasadnya Nabi Muhammad? Jika roh dan jasadnya
kenapa sampai hari ini belum ada satu pun manusia yang dapat menembus langit
ketujuh?
Hemat penulis, sederetan pertanyaan tersebut
tidak pantas untuk dipertanyakan dan tidak perlu diperdebatkan karena hanya mendatangkan
dosa. Mengingat; pertama, pertanyaan tersebut lahir dari orang-orang yang mengalami
krisis kepercayaan serta mencoba untuk merusak keimanan umat islam. Kedua;
peristiwa Isra’ dan Mi’raj bukan peristiwa biasa tetapi peristiwa yang luarbiasa
(gaib) sehingga tidak mampu kita jabarkan lewat akal melainkan lewat hati
dengan dasar keimanan yang kuat. Ketiga; akan lebih bermakna jika kita
mengambil hikmah dari peristiwa tersebut.
Paling tidak, ada ”tiga” hal yang bisa kita
petik hikmahnya dari peristiwa ini. Hikmah pertama adalah masalah keimanan,
yakni menambah keyakinan kita kepada Allah SWT bahwa Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu. Hikmah kedua, kita mesti memahami “hasil” yang dibawa dari
perjalanan peristiwa ini adalah diperintahkannya kita menegakkan shalat fardlu
lima waktu. Adapun hikmah ketiga, adalah hendaknya kita semua mesti mau
memperbaiki diri dan berkaca kepada setiap musibah dan bencana yang sering
terjadi. Bukan hanya bencana alam saja yang bisa kita resapi dan kita maknai,
melainkan bencana moral yang telah banyak melenceng dan sungguh telah jauh
berpijak dari rel-rel kehidupan yang baik dan hakiki sesuai syariat Islam. Ketiga
hikmah inilah yang penulis sebut sebagai cahaya.
Semoga ketiga hikmah di atas menjadi pijakan
kita untuk melangkah ke depan yang penuh makna dalam menjalani sisa-sisa hidup
kita yang semakin hari tanpa disadari jatah usia kita semakin berkurang.
Komentar